Monday 11 November 2013

Staleness and Overcompensation Part I

Kali ini saya 'tulis balik' tulisan yang ada di buku kuliah saya ke blog. Kalo dipahami dengan baik, pasti kalian akan paham bagaimana kaitannya prinsip ini dengan kehidupan sehari-hari.

Latihan keras memang wajar jika ingin mencapai prestasi setinggi-tingginya. Konsekuensi latihan yang keras adalah kelelahan. Dalam keadaan normal kelalahan akan hilang dalam 24 jam. Dan setelah itu kelelahan akan hilang dan tubuh bugar kembali. Akan tetapi ada atlet atau pelatih yang melakukan latihan terlalu keras demi prestasi yang singkat dan tinggi tanpa memperhatikan pentingnya istirahat yang cukup. Hal ini sangat membahayakan bagi kemampuan atlet. Keadaan bahaya yang dimaksud adalah staleness.

Bompa (1983) menyebut staleness sebagai "... a pathological state of training. It is result of overlooking the work recovery ratio, and exposing the athlete to high intensity stimuli when he / she is in state of fatigue". Kemudian dikatakan bahwa, kalau pelatih tidak memperhatikan kesemibangan antara kerja dan istirahat, maka "... the balance between the two is upset. As a consequence a fatigued athelete will not recover, overcompensation will not occur and he . she may rach a state of exhaustion. When a coach fails to take adequate measures even at this late time, on the basis of an acute residual fatigue and exhaustion, the overtraining state the results".

Overkompensasi mengacu pada dampak latihan dan regenerasi pada organisme tubuh kita yang merupakan dasar biologis guna persiapan atau arousal (gugahan) fisik dan psikologis dalam menghadapi suatu pertandingan. Kalau orang berlatih, maka dia dihadapkan pada serangkaian latihan yang menyebabkan keadaan biologis normalnya menjadi terganggu. Keadaan ini disebabkano leh terbakarnya sumbuer-sumber makanan yang tersimpan dalam tubuhnya. Karena itu usai latihan atlet akan mengalami kelelahan, baik kelelahan fisik maupun kelelahan mental dalam sistem pusat syaraf karena konsentrasi asam laktat dalam darah menjadi tinggi. Karena kondisi demikian, maka kemampuan dari fungsi-fungsi organisemenya untuk sementara akan menurun. Maka dari itu dia perlu istirahat.

Selama masa istirahat ini, sumber-sumber energi biokemikal bukan saja diganti, namun akan pula meningkat sampai melewati keadaan dan tingkat kondisi semula. Hal dimungkinkan dengan cara mengerahkan sumber-sumber cadangan energi yang ada dalam tubuh kita. . Tahap ini disebut tahap rebounding atau overkompensasi. Namun perlu diperhatikan bahwa overkompensasi maksimal hanya bisa dicapai kalau stimulus yang diberikan dalam latihan cukup tinggi, artinya lebih dari 60% agar terasa training effect-nya. Stimulus yang kurang dari 60% tak akan mengakibatkan munculnya overkompensasi yang cukup untuk perkembangan prestasi.

Overkompensasi ini dianggap sebagai fondasi fungsional dari efisiensi dalam olahraga yang merupakan hasil dari adaptasi organisme kita terhadap rangsangan latihan. Dengan kata lain, di tahap overkompensasi inilah kinerja dan energi fisik atlet adalah yang paling tinggi.

Involusi. Kalau masa istirahat berlangsung terlalu lama, maka overkompensasi akan memudar atau menghilang sama sekali sehingga akan terjadi proses yang disebut involusi (Bompa, 1994) atau decay (Rushall dan Pyke, 1990).

Siklus overkompensasi (Bompa:1994)

5 Jurnalnya Andre: Staleness and Overcompensation Part I Kali ini saya 'tulis balik' tulisan yang ada di buku kuliah saya ke blog. Kalo dipahami dengan baik, pasti kalian akan paham bagaima...

1 comment:

  1. This comment has been removed by a blog administrator.

    ReplyDelete

< >